Hmm copas :D


Kisah Cinta Sepasang Suami Istri

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak benar – benar memberikan hatiku kepadanya. Menikah karena paksaan orang tua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas seorang istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak mempunyai pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan tuk meninggalkannya, tapi aku tak mempunyai kemampuan finansial dan dukungan dari siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku, karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami yang sempurna tuk menjaga satu – satunya putri mereka ini.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga sangat memanjakanku sedimikian rupa. Aku tak pernah benar – benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung kepadanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan kepadaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya, sehingga tugasnya lah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya, tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku akan menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah diletakan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakan sendok sisa mengaduk susu diatas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah jika ia menggantungkan bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali – kali ketika aku sedang bersenang – senang dengan teman – temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak mempunyai anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya ia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam, sampai pada suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu, ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari 4 bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahan terbesarku kepadanya. Kemarahanku bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak – anak tak terasa berulang tahun yang ke-8. Seperti biasa, pagi – pagi aku bangun paling akhir. Suami dan anak  - anak sudah menungguku dimeja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak  - anak ke sekolah.


Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu adalah peringatan hari ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata – katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya. Ya, saat itu aku tak hadir ke acara ibuku dan memilih pergi ke mall dengan teman  - temanku.

Ya, karena terjebak dengan pernikahanku, akupun menjadi benci kepada orangtuaku sendiri. Sebelum kekantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan lalu anak – anak kami juga. Tetapi, pada hari itu, ia juga memberikan sebuah pelukan kepadaku sehingga anak – anak kami meledek orang tuanya ini. Aku hanya berusaha mengelak, tetapi akhirnya ikut tersenyum karena melihat anak – anak kamipun tersenyum. Ia kembali mencium pipiku berkali – kali hingga di daun pintu rumah kami, seakan berat tuk meninggalkan ku yang masih bertatap kosong ke arahnya sambil tersenyum.

Ketika mereka pergi, aku memutuskan tuk pergi ke salon langgananku. Ku pacu mobilku, setelah beberapa jam tibalah aku disalon langgananku. Di salon aku bertemu dengan salah satu teman sekaligus orang yang aku benci. Setelah beberapa saat mengobrol, akupun memulai tuk merawat bagian rambutku. Dan tibalah saat dimana aku harus membayar semuanya. Tetapi, disaat aku merogoh tasku, aku tak menemukan dompetku, bahkan setelah aku rogoh kembali hingga kebagian paling dalam, aku tak juga menemukan dompetku itu.

Padahal, pemilik salon itu adalah sahabatku, dan ia bilang kepadaku kalo aku bisa membayarnya ketika aku kembali lagi kesini. Tapi karena disana ada “musuh”ku, maka aku merasa tuk jaga gengsi. Tiba – tiba disaat aku kebingungan, Handphoneku bergetar karena ada sebuah telpon yang berasal dari nomor suamiku, lalu ia berbicara, “Sayang, maaf sebelumnya bila aku mengganggumu. Kemarin farhan meminta uang jajan kepadaku, tetapi aku tak punya uang kecil sehingga aku mengambil uang yang ada didompetmu yang ada didalam tasmu. Kalau tidak salah aku letakan lagi dimeja riasmu. Sayang maaf….”

Lalu aku balas dengan amarah dan bentakan yang cukup keras, dan aku matikan telpon itu dengan hati yang sangat kesal tanpa menunggu jawabannya. Beberapa saat Handphoneku kembali bergetar dan suamiku kembali menelponku, “Sayang aku minta maaf, ya aku akan mengambil dompetmu, kamu sekarang ada dimana sayang?”. Dengan terburu – buru ia mengucap, takut aku kembali menutup telpon darinya.

Lalu aku menyebutkan nama salon dan alamatnya dengan lengkap, dan langsung menutup telpon darinya.

Kutunggu dia, berharap mobilnya datang. Detik berganti menit, menit berganti jam, tak terasa hujanpun mulai turun dengan lebatnya. Sahabatku lalu kembali menegaskan kepadaku agar aku bisa membayar lain kali ketika aku kembali ke salon itu, tapi lagi – lagi rasa gengsiku kepada musuhku membuatku bertahan disitu menunggu suamiku datang tuk mengantarkan dompetku.

Kutelpon nomornya, tetapi tak diangkat, aku bertanya dalam hatiku, “ada apa ini?”. Biasanya hanya 2 kali nada tunggu telponku diangkat. Kutelpon lagi dan lagi, tetapi hasilnya tetap sama saja, tak ada jawaban darinya.
Lalu, saat ku telpon tuk sekian kalinya, akhirnya telpon itu diangkat juga. Aku langsung meluapkan amarahku, tetapi yang menjawab telponku itu adalah suara orang asing, dan orang itu memperkenalkan dirinya.

“Selamat siang bu, apa benar ibu ini istri dari bapak Dicky?”, kujawab pertanyaan itu segera. Dan ternyata, lelaki itu adalah seorang “POLISI” !

Ia memberitahukan bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini suamiku sedang dibawa kerumah sakit tuk mendapatkan perawatan intensif dirumah sakit kepolisian. Aku langsung terdiam seribu bahasa dan hanya mengucap kalimat terima kasih kepadanya. Ketika telpon itu ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat – erat Handphone yang ku pegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap dan bertanya ada apa hingga membuat wajahku pucat pasi seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya, aku berada dirumah sakit. Entah bagaimana juga seluruh anggota keluargaku dan keluarganya ada disana hadir tuk menyusulku. Mereka semua berduka atas kepergian suamiku itu. Saat memasuki waktu magrib, sambil menenangkan anggota keluarga, tiba – tiba muncul dokter yang bertugas memeriksa keadaan suamiku. Ia berkata dengan lembut dan pelan “Ibu, pak. Saya mohon maaf yang sebesar – besarnya. Karena saya tak bisa mempertahankan pak Dicky. Beliau sudah pergi pada waktu sehabis magrib tadi. Beliaupun tidak pergi karena ia mengalami kecelakaan, tetapi karena beliau mengalami stroke.”

Setelah mendengarkan kata dokter itu, ayahku, ibuku, anak – anakku, menantu, serta mertuakupun menangis. Tapi entah mengapa, entah mengapa aku tak bisa menangis, aku malah sibuk tuk menenangkan seluruh keluargaku. Bahkan ketika kami berada dikamar tempat jenazah almarhum ditempatkan,  tangisan anak – anakku dan pelukan mereka tetap tak bisa membuatku menangis saat kepergian suamiku itu.

Ketika jenazah suamiku diantar ke rumahku, aku duduk dihadapannya, aku termangu menatapnya dalam – dalam. Seolah hati ini memberontak ingin melihatnya lebih lama dan lebih dalam lagi. Lalu hati ini berkata, menyadarkanku, mengeluarkanku dari semua kekeliruanku selama ini. Kusadari, baru kali ini aku benar – benar menatap wajahnya yang tenang dan dingin dengan senyuman yang tampak tertidur sangat pulas setelah merawatku dan anak – anak kami selama ini, yang telah memanjakanku dan menuruti semua perintahku selama ini.

Kudekati wajahnya, kutatap dalam – dalam, sangat dalam dan sangat dalam ku menatap wajah bisu itu dengan seksama. Saat itulah, saat itulah dadaku, hati ini, batin ini, fikiran ini terhamtam kerasnya ombak penyesalan, bahkan lebih keras dari hantaman sebuah kebencianku kepadanya, lebih besar dari hantaman sebuah kekesalanku kepadanya selama ini.

Kusentuh wajah tampannya yang telah dingin dengan tangan ku ini, hatiku kembali berontak, kembali menyadarkanku, bahwa baru kali ini dari 10 tahun aku menikah, aku baru menyentuh wajah suamiku sendiri dengan halus dan lembut. Wajah yang dahulu selalu dihiasi dengan senyuman hangat, wajah yang dahulu selalu dihiasi oleh pancaran sinar kasih sayang, wajah yang dahulu selalu dihiasi oleh cintanya untukku.

Tak terasa, sepasang sungai mengalir di kedua belah pipiku ini, mengaburkan pandanganku, pandangan mataku, pandangan hatiku, pandangan jiwaku. Aku terkesiap berusaha mengusap air cinta ini yang mengalir dari mata ku ini, agar tak menghalangi tatapanku ini kepadanya, agar tak menghalangi pandanganku kepada suamiku ini, ya inilah TATAPAN TERAKHIRKU UNTUK SUAMIKU yang selama ini telah ku sia – siakan keberadaannya. Aku ingin mengingat semua bagian wajah suamiku, agar semua kenangan manis bersamanya selama ini akan tetap tercetak di otak bodohku ini, di hati kejiku ini, di fikiran kotorku ini.

Tapi, ketika sungai itu diusap, bukan berhenti, tetapi sungai itu malah membesar seiring membesarnya penyesalanku, seiring membesarnya cintaku padanya selama ini yang telah membuangnya sia – sia. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tak mampu membendung tangisan hati ini, tak mampu membendung jeritan cinta ini, tak mampu membendung derasnya air mata ini. Aku berusaha menahan rasa ini, tapi apa daya jiwa ini, apa daya raga ini. Dadaku, hatiku, fikiranku, batinku menjadi sesak, sesak mengingat apa yang telah ku perbuat kepadanya terakhir kali kami berbicara. Aku ingat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya, tak pernah mengatur pola makannya. Padahal, ia selalu mengatur apa yang kumakan, ia selalu memperhatikan vitamin yang aku minum dan obat yang harus ku konsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan.

Ia tak pernah absen tuk mengingatkan pola makanku, bahkan terkadang ia menyuapiku ketika aku malas makan. Aku tak pernah tau apa yang ia makan karena tak pernah aku tanyakan kepadanya. Bahkan aku tak tau apa ia suka dan ia tak suka. Hampir seluruh keluargaku tau bila suamiku ini penggemar mie instan dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, kuping ini serasa teriris, hati ini serasa terinjak – injak, karena aku tau, mungkin ia terpaksa makan mie instan karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak – anak dan diriku sendiri. Aku tak peduli ia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya jika tersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena kantornya cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh - jauh dari tempat tinggal teman – teman ku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika tubuhnya, kenangan, senyuman, kasih sayangnya, dan perhatiannya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbunnya. Aku tak tau apapun hingga akupun terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal, rasa sesal yang memenuhi dada ini, yang memenuhi hati ini, yang memenuhi jiwa ini. Keluarga besarku membujukku dengan sia – sia karena mereka tak pernah tau mengapa aku begitu terluka ketika kehilangan dirinya.

Hari – hari kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini ku bayangkan, bukanlah nikmat yang selama ini kuimpikan, dan bukanlah sebuah dambaan yang selama ini selalu ku dambakan tuk berpisah dengannya. TETAPI AKU MALAH TERJEBAK DALAM KEINGINAN BERSAMANYA.




Di hari – hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat, yang tertinggal di fikiran ini, di relung hati ini, adalah ketika suamiku yang mengajakku tuk makan jika aku sedang ngambek dahulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok dan menangis didalam kamar mandi, berharap suamiku lah yang membawakan handuk untukku, berharap belahan jiwaku lah yang membawakan keinginanku. Kebiasaanku yang menelponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu dirumah, membuat rekan kerja sekantornya bingung menjawab telpon dariku. Setiap malam aku selalu menunggu sosoknya di sebelahku tuk hadir saat aku terbangun, menunggu wajahnya ketika aku membuka mata ini.

Dulu aku sering kesal kalau mendengar suara dengkurannya ketika tidur, tapi sekarang aku sering terbangun malam hari karena ku rindu suara itu. Dulu aku kesal karena ia sering membuat kamar berantakan, tetapi kini aku merasakan bahwa kamar tidur kami menjadi kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, tapi sekarang aku memandangi laptop itu, berharap masih ada bekas dari jari – jarinya yang manis. Dulu aku paling tidak suka ketika ia membuat susu atau kopi tanpa alas piring dimeja, tapi sekarang bekasnya yang tersisa disarapan pagi terakhirnya pun tak ingin dan tak mau ku hapus. Remote televisi yang biasanya disembunyikannya, sekarang dengan mudah aku menemukannya meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan sebuah remote ini.

Semua kebodohan, keegoisan, kecuranganku kepadanya yang selama ini kulakukan kepadanya, ku lakukan karena aku baru mengetahui betapa besar cintanya kepadaku, betapa luas kasih sayangnya kepadaku, betapa tingginya perhatian ia kepadaku, betapa sejuknya pengertian ia kepadaku, betapa sabarnya ia memanjakan istrinya yang bodoh ini. Dan aku menyadari, JIKA AKU TELAH TERKENA PANAH CINTANYA YANG SANGAT BANYAK DAN SANGAT BESAR KEPADAKU.

Aku marah kepada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal padahal ia telah tiada. Aku marah karena baju – bajunya masih tertinggal karena menimbulkan wangi yang membuat hati ini rindu akan kehangatannya. Aku marah karena tak bisa menghentikan penyesalanku. Aku marah karena tak ada yang bisa menghentikanku dan membujukku agar aku tenang, tak ada lagi suara halus yang mengajakku tuk shalat meskipun kini aku melakukannya dengan ikhlas.

Aku shalat karena ingin meminta maaf kepadaNya karena menyia – nyiakan suami yang telah dianugerahi kepadaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik kepada suami yang begitu sempurna. Shalatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit, yang mampu menghapus pilu ini sedikit demi sedikit. Cinta Allah kepadaku ditunjukan dengan betapa besarnya perhatian yang ditunjukan untukku dari anak – anakku, keluargaku, dan kerabatku. Teman – temanku yang ini selalu kubela dihadapan suamiku, tak pernah menunjukan batang hidungnya kepadaku setelah kepergian suamiku.



Empat puluh hari setelah kepergian suamiku, keluarga memperingatkanku tuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang harus kuurus dan kuhidupi. Kembali rasa bingung merasuki fikiranku, merasuki hatiku. Selama ini aku tau beres tak pernah bekerja. Semua dilakukan oleh suamiku. Berapa besar pendapatan suamiku tak pernah aku tanyakan, karena aku tak peduli, yang aku pedulikan adalah berapa besar uang yang masuk kedalam rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadiku, dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah tersisa.

Dari kantornya tempat ia bekerja, aku memperoleh gaji terakhir dan kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, tak menduga, tak percaya, ternyata seluruh gajinya selama ini ditransfer ke dalam rekeningku. Padahal aku tak pernah menggunakan uang itu untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia bisa mendapatkan uang lain tuk menutupi keperluan dapur rumah tangga kami selama ini, karena aku tak pernah menanyakannya soal itu.

Yang aku tau,sekarang aku harus bekerja atau anak – anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup tuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja dimana? Aku hampir sama sekali tak mempunyai pengalaman dibidang pekerjaan. Semuanya diatur oleh suamiku.

Disaat kebingungan melanda hati ini, datanglah jawaban itu kepadaku. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen, lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak – anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut, tapi yang membuatku terdiam seribu bahasa adalah isi suratnya untukku.

“Sella tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu sayang, maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus semuanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa lagi memberikan cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberikan waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak – anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku akan mendampingimu selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini, aku menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa aku berikan kepadamu, tetapi aku harap kamu bisa memanfaatkannya untuk membesarkannya dan mendidik anak – anak. Lakukan untuk mereka ya sayang. Jangan menangis sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang selama ini. Aku memberikan kebebasan kepadamu untuk mewujudkan mimpi – mimpi yang selama ini belum sempat kau lakukan. Maafkan kalau aku menyusahkanmu selama ini, dan semoga Allah memberikan jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku
Maafkan ayah karena tak bisa mendampingimu lebih lama lagi ya sayang. Jadilah istri yang baik seperti ibumu yah, dan berikan ibu dan kakamu itu pengertian dan perhatian ya sayang.

            Teruntuk Farhan, Kesaktria tangguhku
Jagalah ibumu dan adikmu ya. Ingat jangan jadi anak nakal lagi yah, lindungi mereka yah, jangan buat ibu menangis yah. Ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana. Oke buddy !”
            Aku Terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku bila mengirim note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungannya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito itu dan usaha itu cukup berhasil walaupun di bawah pimpinan orang – orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu, mengetahui besarnya, betapa dalamnya, betapa luasnya, dan betapa tingginya cintanya kepada kami, sehingga walaupun ia telah tiada, ia masih membanjiri kami dengan cintanya.

            Aku tak pernah berfikir tuk menikah lagi. Banyak lelaki yang hadir, tetapi tak mampu menghapus sosoknya yang masih sangat hidup didalam hatiku. Hari demi hari, hanya kuabdikan tuk anak – anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selama – lamanya. Tak ada yang meninggalkan kesedihan sedalam kesedihan ketika suamiku pergi meninggalkanku. Kini kedua anakku telah menginjak umur 23 tahun. 2 hari lagi putriku akan menikahi seorang pemuda dari daerah seberang, lalu ia bertanya kepadaku,
“Bu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi seorang istri? Soalnya kan farah gak bisa masak, gak bisa nyuci, gimana ya bu?”

            Aku merangkulnya dan berkata, “Cintaku sayangku, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki sekalipun hanya mempunyai seonggok tanah. Karena jika kamu mencintai suamimu setulus hatimu, maka kamu akan mandapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar tuk membuatnya senang, membuatnya tersenyum, membuatnya bahagia. Karena cinta, kau akan belajar menerima semua kekurangannya, akan belajar seberapa besar apapun persoalan, kalian menyelesaikannya atas nama cinta.”

            Putriku menatapku dalam – dalam, lalu ia berkata, “Seperti cinta ibu pada ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah?” Aku menggeleng, “Bukan sayangku, cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua dulu. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

            Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukan bukti cintaku kepada suamiku. Aku menghabiskan 10 tahun tuk membencinya, da menghabiskan sisa umurku tuk mencintainya.

            Aku bebas darinya karena kematiannya, tapi aku tak pernah bebas dari cintanya yang begitu tulus padaku, dari kasih sayangnya yang begitu hangat untukku, dari perhatiannya yang besar bagiku.

-TAMAT-

Share:

0 Comments